Kamis, 19 Januari 2012

Mahar Pernikahan dan Feminisme


Mahar Pernikahan dalam Perspektif Feminis
Studi Kasus:  Mahar Modern (DOWRY) di India dalam Perspektif Feminis Sosialis

Republik India merupakan salah satu negara berkembang yang perkembangan demokrasinya tercepat. Memerdekakan diri pada 26 Januari 1950, India juga merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tercepat semenjak adanya liberalisasi ekonomi pada awal tahun 1990an.[1] Pada tahun 2007, OECD mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi di India sebesar 7,5%.[2] Perkembangan dan pertumbuhan demokrasi dan ekonomi ini sayangnya tidak sejalan dengan perkembangan keterlibatan wanita dalam bidang selain rumah tangga dan peningkatan jaminan hak wanita. Apalagi dengan masih kentalnya tradisi patrilineal dan patrilocal di India. Hal ini terkait tradisi mahar dalam kehidupan masyarakat India ketika terjadi pernikahan.
Di India kuno, mahar merupakan syarat pernikahan dalam kasta tertinggi di agama Hindu yaitu kasta Brahma yang sering disebut sebagai kanyadhan atau secara harfiah berarti hadiah dari pengantin perawan.[3] Pemberian kanyadhan ini dianggap sebagai dharma seorang ayah, kewajiban dalam agama untuk memberikan anak perempuannya kepada laki-laki lain tanpa meminta kompensasi, jika tidak maka laki-laki tersebut akan menjual anak perempuannya dan memperlakukannya layaknya ternak.[4] Kanydan sendiri dapat dibagai menjadi dua yaitu varadakshina atau pemberian hadiah kepada mempelai pria dan stridhana atau pemberian hadiah kepada mempelai wanita yang harus dianggap sebagai milik mempelai wanita. Tipe-tipe mahar tersebut kemudian membentuk jenis mahar modern yang ada saat ini dimana lebih sering keluarga mempelai wanita yang memberikan mahar dalam bentuk hadiah kepada mempelai pria. Tradisi mahar ala kasta Brahma di India Utara ini saat ini telah mengalami perubahan dan penyebaran di seluruh India. Perubahan dan penyebaran atas tradisi pemberian mahar ini menyebabkan terjadinya subordinasi lebih lanjut pada wanita. Oleh karena itu, dalam esai ini penulis akan membahas perubahan dan penyebaran mahar ala kasta Brahma di India yang menjadikan perempuan lebih tersubordinasi dan dilihat dari perspektif feminis sosialis.

Perkembangan Tradisi Mahar Modern di India
Mahar dalam tradisi Hindu-India lebih sering diasosiasikan dengan pemberian hadiah kepada mempelai pria dari mempelai wanita dan tumbuh sebagai sebuah tradisi di kasta tertinggi yaitu kasta Brahma. Mahar sendiri jika dilihat dari sejarah merupakan bentuk warisan sebelum kematian sang ayah bagi anak perempuannya, karena hanya laki-laki yang berhak mewarisi harta keluarga. Selain itu, mahar tersebut juga bisa diartikan sebagai kompensasi kepada mempelai pria dan keluarganya karena sokongan ekonomi yang diberikan kepada istri baru dimana wanita tidak memiliki peran dalam ekonomi pasar dan bergantung pada suami dan mertua mereka.[5] Namun, semenjak abad ke-20, seiring kemerdekaan negara yang terletak di Asia Selatan tersebut, tradisi pemberian mahar dari mempelai pria kepada mempelai wanita ini berubah esensi dasar pemberian dan jumlahnya. Selain itu, tradisi pemberian mahar tersebut mulai menyebar ke India bagian Selatan, dan bahkan masuk menjadi tradisi baru dalam kelompok-kelompok agama lain seperti Islam dan kasta-kasta yang lebih rendah dari kasta Brahma.
Di India bagian Selatan, pemberian mahar berbeda dengan pemberian mahar di India bagian Utara. Di India bagian Selatan, pada awalnya, mahar dibayarkan kepada keluarga mempelai wanita. Pemberian mahar ini berbentuk semacam pertukaran yaitu keluarga mempelai pria membayar mahar kepada keluarga mempelai wanita, dan keluarga mempelai wanita yang menanggung seluruh biaya pernikahan. Tradisi ini dianggap sebagai tradisi yang menghargai resiprositas, persamaan, dan pertukaran wanita dalam kelompok kecil[6] karena seringkali pernikahan di India bagian Selatan merupakan persatuan dua sub kasta atau jati dengan status sosial yang sama atau bahkan pernikahan terjadi dengan sepupu jauh.[7] Namun, semenjak paruh kedua abad kedua puluh, pembayaran mahar di India bagian Selatan mengikuti tradisi pembayaran seperti di India bagian Utara.
Tradisi kasta Brahma dalam pemberian mahar kepada mempelai pria ini juga menjadi tradisi baru dalam kelompok agama lain di India, khususnya di Islam. Di dalam agama Islam sendiri, pernikahan dianggap sebagai sunnah Rasul.[8] Pelaksanaan upacara pernikahan di Islam juga membutuhkan mahar. Namun, dalam Islam, hampir sama dengan tradisi di India bagian Selatan, mahar dibayarkan oleh mempelai pria. Mahar ini dianggap sebagai “hutang” dari mempelai pria kepada mempelai wanita yang harus dibayarkan jika saat pernikahan berlangsung mempelai pria tidak dapat membayar mahar tersebut. Adanya peraturan mahar ini sendiri dikarenakan sebagai tanda hormat dari seorang pria kepada istrinya dan dimaksudkan untuk memberikan status dan meningkatkan harga diri sang istri di mata suami.[9] Selain itu, mahar tersebut juga dilihat sebagai jaminan keamanan yang baik dalam hal kehidupan pernikahan, seperti ketika terjadi perceraian maka mahar harus diberikan kepada sang istri. Namun, tradisi mahar tersebut di kalangan Muslim India saat ini digantikan dengan tradisi mahar ala kasta Brahma di India Utara.
Hal yang sama juga terjadi pada kasta budak dalits yang sebelum tahun 1936 dianggap sebagai kasta paling rendah, kotor dan najis, serta tidak diperbolehkan masuk ke dalam candi, jalanan umum, memakai sepatu dan menutup bagian atas tubuh mereka.[10] Kasta ini awalnya juga belum mengenal istilah mahar yang menjadi tradisi kasta Brahma. Mahar dalam pernikahan di kasta dalits ini juga awalnya serupa dengan mahar di India bagian Selatan yaitu mempelai pria memberikan hadiah bagi mempelai wanita. Namun, setelah kemerdekaan India kasta yang akhirnya mendapatkan hak akses ke temapat-tempat suci agama Hindu pada tahun 1936 ini mulai mengenal mahar ala kasta Brahma. Dalam kasta dalits sendiri, mahar ala kasta Brahma tidak setinggi yang dibayarkan oleh kasta-kasta di atas mereka. Biasanya mereka hanya meminta uang dan emas. Selain itu, pembayaran mahar tersebut bisa dihindari dengan menikahi sepupu jauh atau menikah karena didasari cinta.
Pemberian mahar dari mempelai pria kepada mempelai wanita selain saat ini dilakukan di seluruh India, pemberian mahar tersebut juga mengalami perubahan dalam esensi dasar pemberian mahar, jumlah, dan sistemnya. Mahar yang diberikan maupun yang diminta bukan lagi atas dasar agama, tetapi karena keserakahan dan keinginan meningkatkan status sosial.

Perspektif Gender Feminis Sosialis dalam Tradisi Mahar di India
Dalam studi bidang gender, setidaknya ada tiga perspektif yang paling terkenal. Satu diantaranya adalah perspektif feminis sosialis. Menurut perspektif tersebut, perempuan tersubordinasi karena adanya kapitalisme dan budaya di masyarakat yang patriarkial. Perspektif yang merupakan penggabungan antara perspektif feminis radikal dan feminis marxis ini berpendapat bahwa kapitalisme dan patriarkhi saling mendukung. Selain itu, menurut perspektif ini, ada pemisahan antara “home” dan “workplace”. Inilah yang terjadi di masyarakat India. Subordinasi perempuan yang terjadi di India dengan adanya tradisi mahar modern ini jika dilihat dari perspektif sosialis ini disebabkan adanya budaya patriarkhi dan penerapan sistem ekonomi kapitalis di India.
Budaya patriarkhi merupakan budaya yang sering dikaitkan dengan budaya patrilineal. Keduanya sama-sama memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.[11] Dua budaya tersebut di India terlihat dengan adanya favoritisme terhadap anak laki-laki sebagai pewaris harta keluarga. Hal ini menyebabkan subordinasi terhadap perempuan dimana perempuan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan warisan harta keluarga. Perempuan dibiarkan bergantung pada suami dan mertua, terutama dalam hal ekonomi. Budaya ini awalnya tumbuh di kalangan kasta tertinggi dalam agama Hindu., karena dalam kasta-kasta lain terutama kasta budak wanita bersifat independen meski hanya bekerja di ladang. Adanya budaya tersebut menyebabkan munculnya mahar dalam perkawinan dengan kedua jenis yang telah disebutkan di atas yang kemudian mengalami perkembangan dan perubahan serta memunculkan subordinasi dalam taraf yang lebih jauh terhadap perempuan. Hal ini turut diperparah dengan semakin tersebarnya tradisi tersebut di seluruh India yang juga menganut budaya patriarkhi.
Adanya budaya patriarkhi yang menyebabkan adanya tradisi mahar kasta Brahma di India Utara dan berkembang menjadi tradisi mahar yang ada saat ini tidak bisa dipisahkan dari adanya sistem ekonomi kapitalis di India. Munculnya ekonomi kapitalis di India dan didukung dengan adanya budaya patriarkhi, menjadikan laki-laki yang mengontrol produksi yang kemudian menyebabkan terbentuknya kelas dalam masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme tumbuh di India sejak adanya liberalisasi ekonomi pada awal tahun 1990an setelah dari kemerdekaannya hingga tahun 1991 India menerapkan kebijakan proteksionis yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi sosialis dan menghasilkan perekonomian yang jauh dari dunia luar serta krisis akut dalam pembayaran saldo di tahun 1991. Liberalisasi ekonomi tersebut kemudian menyebabkan terbentuknya kelas baru dalam masyarakat India berupa status sosial yang tinggi dengan didasarkan pada jumlah kekayaan keluarga. Selain itu, sistem ekonomi kapitalis yang diiringi gelombang globalisasi memunculkan konsumerisme, materialistik dalam masyarakat India.
Kedua hal di atas sangat mempengaruhi subordinasi perempuan yang semakin parah di India melalui tradisi pemberian mahar oleh keluarga mempelai wanita kepada mempelai pria saat mereka menikah. Budaya patriarkhi yang ada di India menyuburkan pelaksanaan tradisi yang saat ini tidak lagi sesuai esensi dasar tradisi pemeberian mahar tersebut. Perempuan masih dianggap bergantung pada suami dan keluarga suami. Mereka, secara tradisi, tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah. Tradisi yang tidak memperbolehkan perempuan bekerja di luar rumah tersebut awalnya hanya ada di kasta Brahma, namun seiring tersebarnya tradisi pemberian mahar dari keluarga mempelai wanita kepada mempelai pria, tradisi perempuan dilarang bekerja di luar rumah juga turut menyebar ke seluruh India. Menurut den Uyl, di dalam kasta dalits saat ini perempuan tidak lagi bekerja di ladang. Mereka yang dulunya bekerja di ladang atau bekerja sebagai tenaga kerja manual, saat ini hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga meski mereka terpelajar. Perubahan ini turut merubah tradisi mahar kasta dalits yang awalnya pemberian mahar berasal dari mempelai pria, kini pemberian mahar berasal dari mempelai pria. Hal yang sama juga terjadi di India bagian Selatan dan kelompok-kelompok agama lain.
Seiring penyebaran tradisi tersebut ke seluruh bagian di India, sistem ekonomi kapitalis merubah esensi dasar pemberian mahar tersebut. Sistem yang memunculkan kelas baru dalam masyarakat India berupa status sosial yang tinggi dan penguasaan produksi oleh laki-laki, menyebabkan keluarga yang memiliki anak perempuan berlomba-lomba menarik perhatian keluarga yang memiliki anak laki-laki dan status sosial yang tinggi. Mereka berlomba-lomba menawarkan jumlah mahar yang akan mereka berikan kepada keluarga calon mempelai pria. Mereka tidak ingin menanggung malu jika mahar mereka kurang sesuai dengan selera keluarga calon mempelai pria. Perubahan lain juga terletak pada sifat pemberian mahar tersebut. Dulu, pemberian mahar bersifat sukarela. Saat ini pemberian mahar di India karena permintaan dari keluarga mempelai pria. Sistem ekonomi kapitalis yang memunculkan sifat konsumerisme dan materialistik di masyarakat India, menyebabkan permintaan mahar oleh keluarga mempelai pria selalu dalam jumlah yang besar. Selain uang secara tunai, mereka juga meminta barang-barang mahal seperti mobil, sepeda motor, rumah, bahkan tanah.
Permintaan mahar yang sangat besar tersebut, status sosial calon mempelai pria yang lebih tinggi dinilai dari harta yang mereka miliki, dan keinginan keluarga mempelai wanita meningkatkan status sosial mereka seringkali menyebabkan keluarga mempelai wanita berada dalam kesulitan keuangan yang besar karena harta yang digunakan sebagai mahar untuk menarik calon mempelai pria biasanya habis. Ketidakinginan keluarga untuk jatuh miskin dan besarnya biaya yang ditanggung keluarga ketika memiliki anak perempuan— anak laki-laki membawa harta ke dalam keluarga— menyebabkan keluarga di India menolak memiliki anak perempuan lagi jika anak pertama mereka juga perempuan.[12] Penolakan ini seringkali dalam bentuk pembunuhan bayi perempuan, kesengajaan keluarga menelantarkan bayi perempuan mereka, dan semenjak ada teknologi baru yang dapat mengetahui jenis kelamin janin jauh sebelum janin dilahirkan, penolakan keluarga seringkali melalui aborsi janin perempuan. Selain itu, karena tidak ingin menanggung malu akibat anak perempuannya belum menikah, di India anak perempuan dinikahkan bahkan saat mereka masih di bawah umur dan biasanya mereka dinikahkan dengan dijodohkan oleh keluarga mereka.
Subordinasi terhadap perempuan melalui tradisi pemberian mahar kepada mempelai pria akibat budaya patriarkhi dan sistem ekonomi kapitalis memburuk ketika mahar yang diberikan tidak sesuai dengan yang diminta oleh keluarga mempelai pria atau mahar tidak dibayarkan pada tenggat waktu yang telah ditentukan. Ketika hal tersebut terjadi, pembunuhan terhadap istri-istri yang masih muda menjadi fenomena yang biasa di India meski ilegal. Pembunuhan tersebut biasanya dilakukan dengan membakar istri hidup-hidup dan dibuat seperti kecelakaan. Aksi pembunuhan inipun diketahui dan disetujui oleh keluarga mempelai pria. Tujuan pembunuhan terhadap istri mereka yang masih muda adalah kesempatan bagi suami untuk mendapatkan istri baru beserta harta dari mahar yang diberikan oleh keluarga mempelai wanita.

Kesimpulan
            Meski merupakan negara dengan perkembangan demokrasi tercepat, India terbukti masih memiliki cacat dalam hal gender. Tradisi pemberian mahar dari pihak mempelai wanita kepada pria yang awalnya berdasarkan agama dan keadilan, saat ini berubah menjadi alat subordinasi perempuan di India. Hal ini diperparah dengan adanya budaya patriarkhi dan sistem ekonomi kapitalis yang ada di India. Apalagi dengan adanya gelombang globalisasi, memunculkan masyarakat yang konsumerisme dan materialistik. Pemberian mahar tidak lagi bersifat sukarela tetapi karena permintaan dari keluarga pria dikarenakan mereka memiliki status sosial yang tinggi dikaitkan jumlah kekayaan mereka sehingga mereka memiliki kendali atas mahar yang akan diberikan. Sistem ekonomi kapitalis memunculkan hal tersebut. Budaya patriarkhi yang ada di India mendukung bagi pelaksaanaan tradisi yang saat ini telah berubah dari esensi dasarnya. Meskipun telah ada upaya dari pemerintah dan gerakan-gerakan feminis, tradisi yang telah mengakar kuat tersebut tidak bias dihilangkan begitu saja. Mengikuti resep yang diberikan oleh perspektif feminis sosialis mengingat akar permasalahan ada pada budaya patriarkhi dan sistem ekonomi kapitalis di India, hal yang bisa dilakukan adalah menghapuskan hak milik privat dan model produksi kapitalis serta menyetarakan beban dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.

Daftar Pustaka
Davids, T. dan van Driel, F. (ed.), The Gender Question in Globalization: Changing Perspective and Practices, Ashgate Publishing Company, Burlington, 2005.
Ashraf, N., “Dowry Among Muslims in Bihar”, Economic and Political Weekly, vol. 32, no. 52, 27 Desember 1997 – 2 Januari 1998.
Srinivasan, P. dan Lee, G.R., “The Dowry System in Northern India: Women's Attitudes and Social Change”, Journal of Marriage and Family, vol. 66, no. 5, Desember 2004.
Nelson, D., Indian gender gap widen due to number of female foetus abortions, 24 Mei 2011, <http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/india/8533467/Indian-gender-gap-widens-due-to-number-of-female-foetus-abortions.html>, 2 Juni 2011.
Organisation for Economic Co-Operation and Development, Policy Brief: Economic Survey of India, 2007, Oktober 2007, <http://www.oecd.org/dataoecd/17/52/39452196.pdf>, 6 Juni 2011, p. 1.
E.H. Wardani, Belenggu-belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam THE BLUEST EVE, 17 Desember 2009, <http://eprints.undip.ac.id/6769/1/BELENGGU_BELENGGU_PATRIARKI_SEBUAH_PEMIKIRAN_FEMINISME_PSIKOANALISIS_TONI_MORRISON_DALAM_THE_BLUEST_EYE.pdf>




[1] M. den Uyl, “Dowry in India: Respected Tradition and Modren Monstrosity”, dalam T. Davids dan F. van Driel (ed.), The Gender Question in Globalization: Changing Perspective and Pranctises, Ashgate Publishing Company, Burlington, 2005, p. 144.
[2] Organisation for Economic Co-Operation and Development, Policy Brief: Economic Survey of India, 2007, Oktober 2007, <http://www.oecd.org/dataoecd/17/52/39452196.pdf>, 6 Juni 2011, p. 1.
[3] P. Srinivasan dan G.R. Lee, “The Dowry System in Northern India: Women's Attitudes and Social Change”, Journal of Marriage and Family, vol. 66, no. 5, Desember 2004, p.1108.
[4] den Uyl, “Dowry in India: Respected Tradition and Modren Monstrosity”, p. 145.
[5] Srinivasan dan Lee, “The Dowry System in Northern India: Women's Attitudes and Social Change”, p. 1108-9.
[6] den Uyl, “Dowry in India: Respected Tradition and Modren Monstrosity”, p. 148.
[7] den Uyl, “Dowry in India: Respected Tradition and Modren Monstrosity”, p. 148.
[8] N. Ashraf, “Dowry among Muslims in Bihar”, Economic and Political Weekly, vol. 32, no. 52, 27 Desember 1997 – 2 Januari 1998, p. 3310.
[9] Ashraf, “Dowry among Muslims in Bihar”, p. 3310.
[10] den Uyl, “Dowry in India: Respected Tradition and Modren Monstrosity”, p. 150.
[11] E.H. Wardani, Belenggu-belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam THE BLUEST EVE, 17 Desember 2009, <http://eprints.undip.ac.id/6769/1/BELENGGU_BELENGGU_PATRIARKI_SEBUAH_PEMIKIRAN_FEMINISME_PSIKOANALISIS_TONI_MORRISON_DALAM_THE_BLUEST_EYE.pdf>
[12] D. Nelson, Indian gender gap widen due to number of female foetus abortions, 24 Mei 2011, <http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/india/8533467/Indian-gender-gap-widens-due-to-number-of-female-foetus-abortions.html>, 2 Juni 2011. 

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. ckckckckckkk, bahaya nih kalau pria yang minta mahar, gk tanggung2, ternyata pria itu kalau udah matre keterlaluan banget ya, istri aja cuma diberi seperangkat alat sholat (yang harganya gk sampek 100 ribuan) aja gk protes, ini cowok kl udh minta mahar, maharnya mobil, rumah, ckckck keterlaluan sekali, udah begitu pihak perempuannya harus mau nurutin lagi!!! padahal dosa besar lho suami yg minta mahar ke calon istri, enak sekali mereka sebagai kepala rumah tangga hanya minta dijadikan raja saya,semuanya istri yang ngurus bahkan sampek biaya hidup istri yg nanggung, dasar suami dayus!!! nah, sekarang sudah jelas kan siapa yang lebih matre???

    BalasHapus
  3. pesan: pikir lagi kalau mau mengatakan cewek itu matre!! Lihat apa yang terjadi di India, mengenaskan!!!

    BalasHapus
  4. pesan: pikir lagi kalau mau mengatakan cewek itu matre!! Lihat apa yang terjadi di India, mengenaskan!!!

    BalasHapus